Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menilai bahwa hak utama untuk melakukan patroli dan pengawalan (patwal) kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia harus hanya diberikan kepada presiden dan wakil presiden.
Di Jakarta, Senin, Djoko menyatakan, “Untuk kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia dikhususkan cukup bagi presiden dan wakil presiden.”
Hal itu disampaikannya sebagai tanggapan terhadap tindakan patwal yang menimbulkan persepsi buruk di masyarakat belakangan ini terhadap pejabat negara. Ini terjadi setelah kasus terbaru patwal mobil dinas RI 36 yang menjadi viral di media sosial.
Dia menyatakan bahwa karena kemacetan di Jakarta setiap hari dapat memengaruhi orang lain, pejabat negara lain tidak perlu diawasi seperti presiden dan wakil presiden.
Menurutnya, jalan-jalan di Jakarta akan semakin padat dan membikin pengguna jalan menjadi stres dengan bunyi-bunyian sirene kendaraan patwal, mengingat lebih dari 100 kendaraan harus dikawal oleh polisi setiap hari menuju lokasi acara.
Dia menegaskan bahwa Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menyatakan bahwa jalan yang dibangun melalui pungutan pajak harus dinikmati oleh semua orang, kecuali untuk kendaraan tertentu.
Pada dasarnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Dia menyatakan bahwa tidak ada seorang pun berhak untuk diutamakan kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, dia menilai bahwa fasilitas angkutan umum di Jakarta, yang sudah memberikan pelayanan dengan cakupan setara dengan kota-kota di seluruh dunia, atau 89,5 persen wilayah Jakarta, dapat dimanfaatkan oleh pejabat negara.
“Artinya, ketersediaan angkutan umum di Jakarta sudah sedemikian merata tidak jauh berbeda dengan kota dunia lainnya yang masyarakat dan pejabat sudah terbiasa menggunakan angkutan umum. Angkutan umum yang tersedia di Jakarta sudah beragam, seperti ojek, bajaj, mikrolet, bus, KRL, LRT, dan MRT.”
Dia berpendapat bahwa para pejabat negara harus membiasakan orang menggunakan angkutan umum setidaknya sekali seminggu agar mereka dapat mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat sebenarnya.
Dia menyatakan bahwa pejabat diperlukan yang sensitif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hal ini langka di Indonesia, jika Anda menemukan pejabat yang ingin menggunakan kendaraan umum setiap hari ke tempat kerja.
Dia juga menyatakan bahwa untuk menimbulkan efek jera, sanksi pidana dan denda harus ditinggikan bagi setiap individu yang melanggar ketentuan pemberian hak utama kendaraan bermotor dengan menggunakan alat peringatan berupa bunyi dan sinar di luar golongan yang tercantum dalam Pasal 134 UU LLAJ.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata mengatakan, “Oknum aparat penegak hukum yang mengawal kegiatan tertentu karena menerima sejumlah uang juga harus ditertibkan.”